Saturday, May 17, 2014

5 Tokoh Semasa SMA Yang Sukar Dilupakan

Di masa kuliah tak ada hal yang paling membuat kangen selain mengenang kembali masa-masa SMA yang penuh dengan kenakalan, keisengan, pacaran dan aksi labil lainnya. Pun jika mengingat kembali segala elemen menyebalkan yang harus dialami tiap hari: bangun pagi-pagi buta pulang sore-sore betul untuk PIB, melewatkan sarapan pagi bernutrisi yang dibuatkan bunda tercinta, menahan lapar, dahaga, kencing dan buang air demi pelajaran jam pertama, sampai menahan kantuk sembari menyangga kepala dengan tangan waktu pelajaran Sejarah. Ternyata semua yang menyebalkan itu kini seakan ingin terulang kembali. SMA memang mempunyai daya tarik kuat--semacam magnet baja yang membuat kita sukar melupakannya. Berikut beberapa tokoh dari SMAN 1 Pandaan tercinta yang menurut saya paling sukar dilupakan, entah itu karena jasa-jasanya, kenangannya atau hal lain yang melegenda. Sengaja dibuat urutan dari lima sampai satu, dengan urutan puncak sebagai tokoh yang paling sukar dilupakan. Dan, tercantum juga honorable mention karena keterbatasan saya dalam membuat list.


Bukti bahwa 'love' pun masih bisa bikin manyun. Untuk itu 'keep smiling' saja ha-ha!
5. Mak Kun Cs.
Kuartet pemadam kelaparan: Mak Kun, Om Heri, Mak Yati dan Pak No adalah hal yang sukar --bahkan sangat sukar dilupakan karena mereka sungguh berjasa menyelamatkan ‘hidup’ saya dari ancaman busung lapar dan gizi buruk seusai PIB. Menu-menu ajaib yang lebih seksi dari masakan Farah Quinn, lebih gahar dari selera Chef Juna, lebih mak-nyus dari rekomendasi Bondan Winarno: mie, nasi, tahu dan soto mereka adalah legenda. Meletakkan mereka di list ini cukup masuk akal karena tanpa mereka, sudah bisa dibayangkan jadinya akan seperti apa. Mereka adalah penguasa kantin SMANDA sepanjang masa. Juara!

Baca juga tulisan tentang kantin SMANDA disini.

4. Bu Atifa
Tak ada yang lebih killer dibanding tatapan mata Bu Atifa. Dibalik auranya yang bersahaja, guru Matematika legendaris ini sukses merampasi gelang-gelang saya berkali-kali dengan metode yang paling sadis: digunting. Selalu menyebut nama saya waktu situasi hening karena tak ada yang bisa menjawab soal Logaritma, menyuruh maju untuk mengerjakan rumus-apa-itu-yang-saya-bahkan-tidak-tahu-namanya di papan tulis sembari ditertawakan teman-teman dan yang terakhir, mempunyai kata-kata cercaan bermajas sarkastis yang hingga hari ini masih terngiang: “Tito, hmm. Masak dari tadi nggak ngerti-ngerti?” Ampun bu…

3. Pak Mustofa
Jika Pak Mustofa mulai ngelantur saat mengajar, kita hanya perlu segera menyadari bahwa ngelantur adalah proses alami menuju sebuah kesepahaman sejati. Tak ada salahnya juga membayangkan bahwa waktu masih muda dulu beliau mirip dengan Vin Diesel jika kita sudah mulai bosan dan mengantuk mendengar beliau mengabsen murid satu-persatu --dengan durasi sepuluh menit per murid. Beliau adalah tipe orang yang betah membaca buku-buku Koentjaraningrat hingga berjam-jam, menarik kesimpulan secara objektif dan subjektif, hingga meramunya menjadi kata-kata penuh metafora sebagai bahan ajar. Intinya; beliau seperti semacam geek jenius bidang Antropologi dan Sosiologi. Tak ada yang salah dengan beliau. Seorang baik hati yang ikhlas mengajar bahkan kala sebagian murid belum datang atau sudah pulang. Pak Mustofa adalah satu dari beberapa guru terbaik saya selama beberapa tahun terakhir. Akhirnya saya mengakuinya.

"Ternyata kamu begitu, dibelakangku....."
2. Monseour Wanta
Pengalaman nongkrong depan kelas saat Monseour Wanta sudah berada di kelas menjadi pengalaman yang tak pernah terlupakan. Beliau marah hingga menggebrak meja dan meninggalkan kelas. Saya dan beberapa teman yang nongkrong tadi pun pun jadi sasaran amuk teman-teman cewek yang emosi. Kami pun langsung menuju ruang guru untuk meminta maaf. Mengharukan karena beliau hanya tersenyum teduh sambil menepuk bahu kami. Meskipun saya tak pernah paham konjugasi bahasa Prancis dan cara bacanya, saya tak pernah lupa bagaimana kerennya beliau saat memamerkan foto-fotonya waktu berada di Paris, dengan percaya dirinya menunjuk bagian papan tulis yang diyakininya pernah ia tulisi sesuatu yang penting, senyumnya yang selalu membuat melting kala teman-teman hanya bisa melongo saat diterangkan, hingga air matanya yang mencair dalam pelukan teman-teman di hari mengharukan sesaat setelah istighosah untuk UNAS berlangsung. Satu lagi ucapan dari beliau yang paling saya ingat selain “Bonjour!” dengan logat khas Menara Eiffel: “Saya tak mengharapkan surga, neraka, atau apa saja. Saya hanya mencoba ikhlas, menyerahkan apapun pada-Nya.” --ini yang membuat saya yakin bahwa beliau sudah mencapai titik ikhlas tertinggi.

1. Bu Niamah
Slogan “Niamah For President!” tak pernah lapuk dimakan zaman. Jika ribuan penduduk mendukung Jokowi sebagai capres, saya tetap menjagokan Bu Niamah. Argumennya soal televisi, politik, pemerintahan, kemanusiaan dan percintaan adalah pemikiran yang paling bernas yang pernah saya temui sampai saat ini. Pun sikap keibuannya yang membuat teman-teman betah di kelas. Mengubah saya yang awalnya canggung menjadi sedikit lebih berani bicara depan umum. Tugas baca pidato terakhirnya sukses membuat saya menahan pipis di celana karena nervous. Ini guru terbaik saya hingga saat ini; guru yang paling sukar dilupa, juga paling banyak membentuk saya; beliau pantas menduduki peringkat pertama. Banyak buktinya jika tangan dingin beliau mampu mengubah anak-anak yang gagap menjadi banyak omong. Hingga pengalaman spiritual waktu detik-detik terakhir menjelang UNAS di saat PIB kala beliau melakukan retrospeksi dua tahun terakhir bersama kelas bahasa sampai menitikkan air mata. Peristiwa ini jauh lebih mengharukan dibanding film Laskar Pelangi yang soundtrack-nya pernah menjadi salah satu lagu bersejarah kelas bahasa. Ibu kelas bahasa? Iya. Pejuang siswa minoritas? Iya. Sosok penting pengubah hidup? Iya. Kalau saja tak ada Bu Niamah yang mengajar Sastra Indonesia, mungkin sekarang saya sudah belepotan cat sambil menenteng efek gitar ke kampus untuk kuliah kesenian atau sibuk mempelajari ilmu roket. Mimpi-mimpi masa kecil untuk menjadi pelukis, rockstar dan astronot berani saya tanggalkan dan lebih memlilih untuk kuliah Sastra Indonesia walaupun tak jelas nanti kerjanya apa; semuanya adalah pengaruh Bu Niamah. Yang jelas, saya suka Sastra Indonesia dengan guru pembimbing Bu Niamah. Dosen-dosen di kampus tak ada apa-apanya!

Baca juga tulisan tentang Bu Niamah disini.

Honorable Mention.

- Pak Tirto: “Perubahan itu perlu. Tapi ada juga yang perlu dipertahankan.” kata-kata beliau waktu menjelaskan tentang paradigma Pancasila yang tercatat dengan font besar di halaman pertama buku tulis PKN saya. Great Quotes Ever!

- Pak Harto: Ayahnya Shofi, pengisi siraman rohani di jam pertama hari Senin setelah dibakar terik matahari lapangan seusai upacara bendera. Asyik, sambil belajar sambil nambah pahala. Lumayan juga buat pengingat untuk tobat.

- Pak Sulkan: Dibuka dengan Pak Sulkan, dilanjut dengan Bu Atifa. Matematika memang selalu luar biasa.

- Bu Nurul: Hai, bu :) Mari berdoa lagi.

- Pak Ula: Hai, pak :) Mari mengaji lagi.

- Pak Nur: Hai, pak :) Mari Facebook-an lagi.

- Pak Imad: “Ohayou Gozaimasu… Konbanwa… Ogenki Desuka!” --benar, hanya kata itu yang saya ingat.

- Pak Agus: “Good morning students. Nice to meet you. Are you fine enough today?” Dan seisi kelas kompak menjawab “Noooooooooooooo…..sir!”

- Bu Riris: Semoga menikah tak mengurangi keceriaannya. “Be Cheerful, guys!”

- Pak Heru: Bukan hanya cinta yang bisa melukiskan sejarah, Pak Heru sebagai guru paling ber-SEJARAH di SMANDA inipun bisa. Sukar dilupa, terutama waktu dua kali diusir dari kelas karena tak mengerjakan buku paket. Lepas dari itu, tidur siang dengan bantal paket Matematika yang tebal waktu pelajaran beliau di jam terakhir saat beliau asyik membahas ‘ilmu pertamanan’ adalah pilihan yang tepat --jika tak ketahuan.

- Pak Timbul: Sampai kapanpun, kepala sekolah SMANDA bagi saya adalah pak Timbul, irreplaceable!

- Mrs. Eni: Guru paling baik dan telaten. Bisa nyantai kalau diajar Bu Eni, tapi tak bisa malas-malasan atau tiduran karena sungkan.

Dan semuanya yang tak bisa disebutkan satu-satu…

Notes: IB2012: Rek nggaweo list pisan tak enteni haha.

Ronascent #GigSeadanya [Day 2 - Unesa]: The Wise Menghipnotis, GRIBS Tampil Membaptis


Setelah sukses mengumpulkan band-band indie Surabaya dari berbagai aliran dalam album kompilasi “Ronascent Compilation #1” yang merangkum musik-musik indie keren yang sempat hype di akhir 2013 kemarin, sebuah gigs sederhana bertajuk “Gigs Seadanya” untuk merayakan kompilasi itu akhirnya dihelat, tak tanggung-tanggung di dua universitas besar di Surabaya; Unair (Universitas Airlangga) dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya), bekerja sama dengan dua komunitas musik terbesar di kampus tersebut, yakni BSO Unair dan Emuc Unesa. Dengan semangat untuk meramaikan kembali gelora musik indie yang sempat vakum di kedua kampus tersebut, serta untuk bersenang-senang bersama teman-teman sekaligus menjaga kekompakan antar pecinta musik, gigs ini dimulai di Kantin FIB Unair (7/5) dan esok harinya di Lapangan Parkir FBS Unesa (8/5). 

Kampus FBS Unesa yang terletak di Lidah Wetan memang sengaja dipilih sebagai penutup rangkaian acara Gigs Seadanya ini. Sesuai dengan namanya, gigs ini memang benar-benar memasang konsep sederhana: dimulai dengan tidak adanya panggung sehingga penonton seakan sama rata sama rasa dengan pengisi acara hingga memungkinkan interaksi intim, ditambah lagi dengan nuansa kampus Unesa Lidah Wetan yang terasa seperti di hutan kota nan eksotis. Tapi, jangan tanya headliner-nya; GRIBS—aksi hair metal revival asal Jakarta—siap mengobrak-abrik gigs ini sekaligus promosi album baru mereka. Dipandu dengan host kocak Attur Razaki dari kelompok folk-rock Taman Nada, acara yang telah dinanti-nanti pecinta musik indie Surabaya ini dimulai sekitar pukul 17.00 WIB. 

Tuan Tanah, band pembuka, membuka waktu menuju senja itu dengan musik Ambient yang mereka usung: semacam soundtrack yang pas menjelang Adzan Maghrib. Tuan Tanah tampil prima dengan instrumentalia gelap nan misterius yang hanya tersembur dari synthytizer dan melodi gitar. Sayangnya, penonton masih terlihat sepi. Menjelang malam hari, suguhan istimewa datang dari Edso Coustic, yang meramu konsep pop dengan akustik. Mereka sempat membawakan lagu “Unconditional” dari Katy Perry selain lagu-lagu mereka sendiri. Dilanjut dengan band beraliran pop-punk dari Unair, Nevermore. Mereka melumat habis tatanan kesenduan yang dilakukan oleh dua band sebelumnya. Disini mereka bermain blak-blakan, mengingatkan pada musik-musik ala Sum 41. 

Suasana di area gigs tampak mulai ramai saat mereka mengcover lagu masa kecil dari Sherina. Gigs yang semakin larut semakin ramai ini pun seketika mulai mengencangkan ikat pinggang untuk ber-moshing ria ketika band dari Unesa, Tiga, membawakan dengan apik cover lagu dari band post-punk Marjinal. Energi three-fuckin-chord yang termashyur meledak diiringi suara vokalis yang berteriak-teriak bengal. Lagu “Aku Ingin Sekolah Gratis,” sepertinya tepat sasaran dibawakan di area kampus untuk menyindir biaya kuliah yang semakin mahal. Suasana yang berapi-api ini tak begitu saja dilewatkan, muncul Jodum, band baru yang mengaku memainkan musik Hardcore. Mereka tak segan untuk membuat arena moshpit semakin panas. Dengan vokalis Bang Keweh yang berkali-kali orasi dan misah-misuh sebelum awal lagu, emosi penonton seperti diauduk-aduk. Lagu berbahaya macam “Satpol PP” dan “Buang Sampah” dengan gaya vokal layaknya rapper berhasil membuat malam di Unesa membara.  Egon Spengler, band selanjutnya yang juga memainkan hardcore, rupanya tak mau kalah. Walau dengan vokalis yang terlihat ngos-ngosan –entah karena lelah berjingkrakan atau karena sudah tak kuat nge-growl—Egon Spengler tetap bermain sadis. 

Setelah puas berjingkrakan tak karuan dengan alunan musik yang membuat nyeri sendi dan leher kaku, waktunya cooling down. The Wise didaulat sebagai pengisi acara selanjutnya. Band beraliran post-rock/indie pop ini meramu instrumentalia dengan sound yang menghipnotis penonton. Ada nuansa Radiohead yang misterius saat band ini memulai aksinya. Efek delay yang terus menerus dihujani raungan gitar mengawang seketika membuat penonton terbius. Bodikz, bassist My Mother Is Hero yang kebetulan sedang menonton, mengiyakan bahwa The Wise adalah band yang bagus. “Tapi aku nggak terlalu mengerti aliran semacam ini.” ujarnya. The Wise, yang kebetulan juga merupakan band yang masuk dalam Ronascent Compilation #1 akhirnya membawakan “Time Machine” dari kompilasi yang sama. Sambutan dari penonton sungguh meriah. 

Sempat ada rasa berat hati ketika The Wise akhirnya menyudahi permainan. Tapi semua itu langsung tergantikan oleh Charlie’s Rum And The Chaplin. Membawakan lagu-lagu punk dengan nuansa etnik, band ini sempat memperolah komentar dari Eben Andreas, gitaris GRIBS yang kebetulan sedang bersiap untuk tampil. “Gila! Musiknya kayak Rancid banget!” katanya. Tak heran karena Charlie’s Rum sendiri mendefiniskan aliran musiknya sebagai irish-folk-punk.

Puluhan orang kini tampak sudah memadati arena gigs, beberapa lainnya berkeringat. Suguhan demi suguhan musik telah ditampilkan, tapi mereka masih menyisakan sisa tenaga untuk bersenang-senang dengan headliner yang paling ditunggu-tunggu; GRIBS. Sebelum manggung, saya sempat berbincang singkat dengan Rezanov, vokalis GRIBS tentang ramainya penonton yang menanti GRIBS malam ini, Rezanov pun berujar dengan mata berapi-api,.”Yeah! Saya suka penonton Surabaya! Selalu suka!”

Yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. “Hai Surabaya!” sapaan ramah dari Rezanov, vokalis GRIBS langsung disambut dengan gegap gempita oleh penonton yang hadir. Tanpa di komando, band yang digawangi Rezanov (vokal), Eben Andreas (gitar), Gahariden Sukaca (drum) dan  Hugo Singarimbun (bass) ini langsung membuat penonton merapat hingga benar-benar dekat dari tempat GRIBS. “Sinetron Indonesia”—lagu pembuka, langsung menyentil penonton untuk headbanging. Malam ini GRIBS tampil penuh kharisma. Dengan kostum ala band hair metal era 80-an awal seperti Guns N’ Roses dan Motley Crue, GRIBS adalah mesin yang bersiap membawa hair metal kembali pada tahtanya. Rezanov, vokalis kharismatik ini berteriak lantang, “Jancok ya, sinetron memang jancok!” disambut sorakan bahagia dari arek-arek Suroboyo yang hadir malam itu. 

GRIBS juga membawakan lagu andalannya di album terbaru THUNDER, “Gir Dan Belati”, yang mengundang masa untuk slam dance di arena moshpit. Mereka juga membawakan hits terbaru, “Istana Ilusi” yang mendapat tanggapan positif dari publik Surabaya. Setelah itu, salah satu lagu dari dedengkot thrash metal, “Shouth Of Heaven” dari Slayer, yang sempat di cover oleh band metal legendaris Indonesia Disinfected, dibawakan dengan kencang oleh GRIBS. Ini membuktikan bahwa skill band yang berdiri dibawah naungan Demajors ini tak kalah dibanding band-band extreme metal lain. “Sampai Jumpa Di Neraka”, lagu dari album pertama GRIBS –yang sempat masuk dalam 10 album Indonesia terbaik 2010 versi Rolling Stone Indonesia—seperti menyiramkan solar pada api moshpit yang mulai tak terbendung lagi. Satu kata yang terucap saat melihat ini: GILA! Dari mulai pogo dancing, slam dance, diving hingga headbanging liar semuanya seakan memuncak di lagu yang versi albumnya direkam dengan bintang tamu Arian13 dari Seringai pada vokal ini. 

“Rock Bersatu” adalah klimaksnya. GRIBS membaptis Surabaya dengan hymne rock andalannya. Jika band legendaris Roxx mempunyai lagu kebangsaan “Rock Bergema”, maka GRIBS mempunyai “Rock Bersatu” sebagai anthem. Disini para penonton tak hanya pogo, tapi mereka seakan sudah menyatu satu sama lain dengan berangkulan dan saling berbagi bir—membuktikan bahwa rock memang bisa menyatukan segala perbedaan. Di akhir lagu, Surabaya seperti ingin membuktikan bahwa sejak zaman nenek moyang kota ini memang dikenal sebagai kota yang selalu menghormati jasa-jasa para rockstar. Rezanov, sang vokalis, sempat dipeluk dan kemudain diangkat oleh penonton sembari dielu-elukan ketika lagu “Rock Bersatu” berakhir. Suasana yang sungguh mengharu-biru. Lagu ini menjadi pamungkas pertunjukkan GRIBS malam ini. Walaupun tanpa encore, GRIBS sudah mampu melampaui ekspekstasi penonton dengan aksi panggung yang memukau.

Mooikite, band yang juga ambil bagian dalam Ronascent Compilation #1 tampil sebagai penutup. Dengan formula pop-punk yang mereka bawakan, penonton merasakan anti-klimaks yang sempurna. Mookite membawakan “Agatha,” lagu di kompilasi Ronascent yang sekaligus menutup pagelaran “Gigs Seadannya,” di Surabaya. Penonton yang puas dan pulang dengan senyum tersungging di mulut, membawa setitik harapan: semoga gigs-gigs seperti ini bisa menjadi acara yang rutin diadakan. See you in the next GIGS!

*Pernah dimuat di Ronascent dengan penyuntingan seperlunya.

Foster The People – Supermodel: Kerumitan Psychedelic Yang Hampir Terdengar Menyenangkan


Apa ekspresi yang paling pas untuk membuka hal yang baru setelah era kesuksesan tak terduga single “Pumped Up Kicks” dari album Torches yang rilis tahun 2010 lalu? Dan, Foster The People – pasukan pop rock psychedelic asal Los Angeles, California – menjawab itu semua dengan nyanyian lantang: “Nananana-nanana-nanana-nanana!” – dalam “Are You What You Want to Be?”, track pembuka yang ceria di album terbaru mereka, Supermodel; mengumbar sound tradisional ala Afrika dipadu dengan irama pop yang membuat pinggul bergoyang. Mark Foster, Cubbie Fink dan Mark Pontius seakan  mencipta Supermodel dengan ambisi ingin mengulang kesuksesan single “Pumped Up Kicks” yang sempat berjaya di Billboard dan beberapa kali mendapat nominasi penghargaan MTV. Tapi, Supermodel adalah sesuatu yang lebih rumit, menggema dengan irama yang lebih kompleks; selain “Are You What You Want to Be?” yang penuh eksplorasi, simak “Coming Of Age” yang menggoda, catchy dan kalem – irama synth memabukkan disertai kocokan gitar renyah yang saling mengisi hingga ujung lagu. Ada juga rasa shoegaze yang menonjol pada “Pseudologia Fantastica”; mengingatkan pada My Bloody Valentine dengan rasa distorsi tipikal Kevin Shields yang mengawang. Pada “Best Friend”, ada momen yang membawa kita menuju radio disko 80-an; beat dan melody yang mengajak untuk segera berdansa. Pengalaman mendengar Supermodel memang membawa kita pada sesuatu yang baru, sound yang seru, emosi yang menggelitik dan eksplorasi yang membuncah. 11 track yang kesemuanya hampir berdurasi lebih dari empat-menit terdengar hampir sempurna. Tapi sayangnya, Supermodel lama-kelamaan malah terdengar agak membingungkan dan memusingkan. Karena eksplorasi berlebihan atau karena banjir nuansa psychedelic? Semua agaknya terlalu rumit. Too Explore Psychedelic!

**Pernah dimuat di Ronascent dengan penyuntingan seperlunya.

Tuesday, May 13, 2014

Suatu Sore Dan Web-cam

Berdoa, mulai!
Yang tengah lebih mirip Armstrong era Dookie atau DeLonge era Enema Of The State? :D
Boy Fukkin' Ba(n)d!
Haha, Fukk You!
Nggateli, haha!
"Terus lek aku mayak kon kate lapo cuuukkk!!!" Haha!
Bosan upload di Facebook, ribet tweet-pic di Twitter, malas share di Instagram, ogah ngurus BBM, Path, Line, Whats App, We Chat and many fuckin' app, saya memilih untuk mengupload foto-foto suram paling nggateli di blog saja. Di-shot dengan web-cam yang untungnya lumayan bening di balkon eksotis kampus. Hey, ternyata aku imut banget ya :D

Karena Burung Dara Itu Dianggap Setia Hanya Karena Ia Tak Pernah Lupa Tempat Asalnya

“Ih pulangan! Kayak burung dara!”

Sebagai mahasiswa yang ‘kupu-kupu’ (kuliah-pulang-kuliah-pulang), saya sering diejek oleh teman-teman dengan kata-kata itu. But, who cares? Saya tidak peduli karena saya tidak tahu menahu soal burung dara. Sampai pada suatu sore, saya diajak oleh Bang Joko, bocah asli Surabaya yang sering bermalam di kosan, untuk membawa burung daranya (dalam makna harfiah) pergi sejauh mungkin dari bakupon (nama rumah burung dara—terdapat di buku Pepak Bahasa Jawa kelas 5) untuk kemudian diterbangkan lagi. Kami menuju ke kawasan Pakuwon untuk melakukan aksi itu, yang berarti jarak antara bakupon dan tempat kami berada sekarang cukup jauh. Bang Joko mulai menerbangkan burung daranya. Komentar saya:

“Loh! Gendeng a bang! Lapo kok diculno manuk’e? Amblas la’an engkok” --sekali lagi ‘manuk’ dalam makna harfiah.

Joko Tingkir inipun hanya tertawa.

“Mariki lak yo moleh dewe seh to!” ujarnya.

Bagaimana mungkin burung dara ini bisa menemukan rumahnya yang terletak amat sangat jauh dari peradaban sementara manusia beserta mobil canggih dengan GPS pun masih sering nyasar hingga ‘nyemplung’ jurang? Saya pun tak mempercayai kata-kata Bang Joko. Tapi setelah memacu motor dan mengecek kembali rumah bakupon burung dara itu, Ajaib! Ia sudah kembali disana.

“Hewan paling setia adalah burung dara. Sejauh apapun pergi ia pasti kembali menuju sarangnya.”

Saya baru tahu, ternyata kata-kata itu benar! Thanks Bang Jok!

Notes: Pulang adalah hal yang sakral; bertemu keluarga, tidur di kamar tercinta hingga makan masakan ibunda. Semuanya sekaligus sebagai pengisi energi psikis yang mungkin hilang oleh panasnya kota rantau. Dan, burung dara mengajarkan pelajaran penting: bahwasanya setiap manusia, cepat atau lambat, mau atau tidak, pasti akan kembali ke tempat asalnya, sejauh apapun ia beranjak dari tempat itu. Dan tentang kesetiaan burung dara? Bahwa burung dara itu dianggap setia hanya karena ia tak pernah lupa dan selalu kembali ke tempat orang-orang yang menyayanginya :)

Saturday, May 3, 2014

Go Ahead, Let It Flow...


"Mana yang akan dijalani
Arah mana yang akan dituju
Pilihan salah, terkadang membawa kita ke arah yang benar
Pilihan yang benar, membuka jalan menuju pengalaman
Saat dihadapkan pilihan, pilih untuk menjalani"
(Iklan Go Ahead 2014 - Split Version)

"Terkadang, semua bisa didapatkan, jika semua dilepaskan"
(Iklan Go Ahead 2014 - Lake Version)

Cuplikan narasi keren dari iklan A-Mild Go Ahead ini mungkin bisa menginspirasi. Ceritanya tentang seorang backpacker yang mencoba mencari makna hidup di suatu tempat antah berantah. Di versi terbaru, iklan ini menggambarkan sosok backpacker yang dihadapkan banyak pilihan, tanpa tahu pilihannya salah atau benar, yang pasti ia memilih untuk terus menjalani pilihannya, just go ahead karena benar-salah-pun sebenarnya tak masalah. Di versi lama, lebih fokus pada sosok backpacker yang ingin mencari kebebasan dalam arti yang sebenar-benarnya. Akhirnya ia membuang semua barang miliknya demi mendapat kebebasan itu. Sarat pesan. Backpacker ini sudah tak peduli akan semua barang miliknya dan hidup tanpa beban dan tangggungan. Ini mungkin yang disebut ikhlas. Life Free!

Adegan paling dramatis di iklan ini adalah ketika si backpacker tak sengaja bertemu dengan serigala putih nan gagah di lereng pegunungan yang luar biasa indah. Saling menatap selama sekian detik dan anehnya, serigala itu tak sedikitpun sampai menyentuh si backpacker. Beruntung si backpacker tak sampai dimangsa atau dicakar. Mungkin karena sudah ikhlas kali ya. Awesome scene deh.


Executive Creative Director : Hendra Lesmono
Creative Director : Iyan Susanto

Courtesy: Youtube.com