Saturday, February 7, 2015

Headset Plug On: Merenung Anywhere Anytime

Tulisan lama di 2014. Hanya saja baru diposting daripada nganggur ngendap terus lumutan. Sekedar keinginan bahwa beberapa lagu di bawah akan saya jadikan tulisan tersendiri nantinya—bila tak lupa. Tapi tentu saja kecil kemungkinanya untuk tidak lupa huehehe...

Jujur salah satu penyelamat terbesar dalam titik paling rendah di hidup saya adalah musik—selain substansi yang memperberat kerja ginjal. Dibalik berbagai tindakan bodoh yang sempat saya lakukan saat berada di titik itu, musik menyelamatkan lebih dari yang saya duga. Ada banyak album bagus yang saya dengar saat itu. Ghost Stories dari Coldplay misalnya. Album ini adalah album tergalau Coldplay dengan sang vokalis Chris Martin sebagai penyumbang tangis terbanyak. Tak hanya tangis mungkin bahkan ratapan dan rasa sakit yang dalam: album ini memang terinspirasi dari kisah perceraian Chris dengan artis Hollywood Gwyneth Paltrow. Sialnya, kisah patah hati Chris ini mirip-mirip dengan saya dan lebih sialnya lagi album ini rilis tepat saat saya sedang dalam kondisi parah-parahnya. Agak ekstrem untuk mendengarkan album ini lagi karena emosi yang didapat bisa cukup intens (bayangkan saja kamu baru putus cinta dan band favoritmu mengeluarkan album dengan konsep serupa—semacam soundtrack yang pas nggak tuh?) Tapi lepas dari Ghost Stories atau apapun itu yang membuat muka saya jadi jelek kerena kerap nangis, ada beberapa lagu yang membuat saya menyadari betul bahwa ini semua bukanlah akhir. Lagu-lagu ini membuat saya hanya duduk, menatap awan, bernafas dan kemudian merenung. Tak ada lagi kecengengan disini. Saya telah membuang memori tentang “Ghost Stories” versi saya itu dan kembali berjalan ke depan. Lagu-lagu berikut berada di masa transisi yang penuh dengan perenungan: Diterusno tah gak urip iki?

1. Radiohead – “I Can’t”
Tempat merenung: Balkon T4 lt.3
Waktu: pas telat kuliah
Hasil: bingung dewe, aku lapo nang kene dewean?

Mas Thom Yorke yg super keren
Kalimat ini indah bila diawali dengan jancuk. Ya, jancuk! Tak ada emosi yang sebegitu intens selain karena mendengar lagu ini. Tapi entah saya dengar yang versi apa, yang pasti bukan versi pertama di album Pablo Honey yang menurut saya lebih raw dan meluap-luap—padahal versi yang saya dengar ini mirip sekali. Tapi Thom Yorke dalam versi kedua ini terdengar lebih menghayati, sendu dan hiks, gelap. Suram jancuk. Sudah telat kuliah, belum sarapan, masih ngantuk dan...baru putus. Faak! Untung saja ada balkon tempat bernaung (bukan untuk loncat ndeng). Putar saja smatphone gila itu sambil menatap tembok atau apapun deh gelas Aqua juga bisa. Berdiam diri dan merenung, Dan yayaya, “I Can’t”  adalah lagu pertama yang akan saya lempar pada pikiran yang setengah mampus ingin mengejar pacar kembali padahal sudah putus. Tentu saja dengan refrain: “Even how i might/ Even how i try/ I can’t.”  Bahkan walaupun itu mungkin, bahkan walaupun mencoba, kamu tak akan bisa. Jadi, saya memilih mundur perlahan, dan memang inilah hal yang paling masuk akal. Duduk di balkon tak pernah sesendu ini. Terima kasih Thom Yorke sudah membuat saya merenung dengan cukup tekun selama hampir lima menit, untuk kemudian mempertanyakan kenapa saya di balkon ini membusuk sendirian bukannya cabut cari makan.

2. Pure Saturday – “Musim Berakhir”
Tempat merenung: Kelas
Waktu: di kala dosen itu belum tiba
Hasil: cuk tugaskuuuuu dorong mari

Pure saturday dan Pure People di belakang
Penikmat musik illegal seperti saya kadang memang suka telat mendengar album bagus. Yang terbayang dari Pure Saturday hanyalah lagu pop mengawang “Kosong”yang dulu sempat saya dengar sewaktu SMP. Tanpa dinyana tanpa diduga PS mengeluarkan mahakarya—kalau menurut saya—berupa Grey album yang rilis tahun 2012. Gila. Apa-apaan ini band indie pop bereksplorasi liar ke arah prog/art rock. Wuih. “Horsemen” cukup memprovokasi saya agar jadi pria jantan, mampu menghadapi kenyataan dan selalu berkepala dingin (keramas dengan Clear Menthol maksudnya). Tapi yang terbaik dari Grey bukanlah track itu, melainkan “Musim Berakhir.” Sebagai satu-satunya lagu di album itu yang memakai bahasa Indonesia, mencerna liriknya yang lumayan bagus diiringi perpaduan indie pop khas PS dengan hawa prog-rock yang kental (khususnya terasa di bagian drum) menjadi sentuhan emosi tersendiri. Merenung tak selalu harus memikirkan sesuatu hal. Merenung juga bisa berarti sadar akan segala yang sedang dialami. Dalam konteks ini, saya tersadar dosen akan segera datang.  Dan ini berarti hanya akan ada dua pilihan: tetap santai di bangku belakang atau mengeluarkan binder dan mulai mengerjakan tugas. Saya dan 62% warga kelas tentu memilih yang pertama.

3. Mew – “Behind The Drapes
Tempat merenung: Kasur empuk di rumah
Waktu: sesudah sahur sebelum subuh
Hasil: turu ae wes

Mew, pahlawan post-rock kita
Frengers dari Mew adalah soundtrack hidup saya di Ramadan tahun ini selain Ghost Stories. Tapi saya mengapresiasi Frengers tanpa pernah merengek-rengek galau, merengek-rengek nangis. Cuih! Album ini dibuka dengan “Am I Wry? No” dengan intro yang kemungkinan dijiplak Peterpan, dan track-track selanjutnya setidaknya juga mendukung dua keinginan: keinginan untuk nonton konsernya dan keinginan untuk lekas-lekas menyudahi kegalauan. “Behind The Drapes” sesungguhnya bukanlah track terbaik di Frengers (menurut selera pribadi sih yang terbaik masih “She Came Home For Christmas") tapi entah kenapa di suatu malam pekat sesudah sahur Indomie, mendengarkan lagu ini membuat segalanya jadi penuh renungan. Atau lamunan karena saya mulai ngantuk. Tapi apapun itu yang paling menyentil tentu saja kutipan: Why are we so alone/Even with company? Benar, kondisi ini memang sedang parah-parahnya. Merasa tetap sendirian meskipun di sana-sini banyak sekali teman. Tapi apa daya, efek Indomie dengan saran penyajian sepertinya mulai beraksi. Mata sudah tak kuat. Saya akhirnya mendapatkan hasil perenungan yang cukup brilian: bahwa dalam perasaan seperti ini tak ada lagi hal yang bisa dilakukan, kecuali kembali merapatkan selimut dan tidur tentu saja. Hoamsss.

4. Payung Teduh – “Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan”
Tempat merenung: Balkon kos lantai dua
Waktu: magrib
Hasil: onok bu kos ndelok teko nisor cak singitan ae

Suaramu lho, mz 
Balkon kos saya tidak ada romantis-romantisnya. Penuh jemuran kutang yang entah milik siapa. Tapi romantis memang butuh menunggu, seperti saya yang harus menunggu malam hari agar dapat feel itu saat kutang-kutang tersamarkan gelap malam. Teman saya selalu saja Mas Is dari Payung Teduh. Cemen dong kalau nangis—kan sudah tadi siang. Sekarang sebaiknya merenung saja, sebau apapun atmosfir udara karena saya terus-terusan kentut akibat salah memilih cabe gorengen hasil nyuri punya anak-anak. “Untuk Perempuan...” kemudian hadir. Denting gitar surga (ah saya terlalu berlebihan), tapi vokalnya itu lho mas, standard banget. Tapi enaknya itu disitu karena folk yang paling indah justru hadir dari musik yang paling sederhana. Liriknya menyebalkan karena puitis sekali dan saya tak mengerti. Tapi entah mengapa suasana jadi sedikit cemas-banyak rindunya dan saya mendingan merenung saja deh. Segalanya jadi selow. Untuk apa deh kesal terus mending nerima aja. Saya jadi tenang sekali. Sunyi. Tapi oh bu kos mengintip tiba-tiba dari bawah yah saya lebih baik ngumpet deh daripada ditanya aneh-aneh. Gak dititipi ibuk duwek gawe mbayar kos ta nak?

5. Efek Rumah Kaca – "Balerina"
Tempat merenung: Bus Surabaya – Malang
Waktu: di pagi itu
Hasil: luwe

Cak Cholil dari ERK
Lagu terakhir di album Kamar Gelap ini membuat telinga saya seakan punya dua versi. Disisi lain lagu ini terkesan optimis, tapi disisi lain terdengar seperti upaya menerima segala hal yang terjadi tanpa butuh macam-macam tendensi. Dan tanpa mempersoalkan versi telinga kiri-kanan, kadar perengungan di lagu ini cukup baik; hampir 80%. Dengan 20% sisanya lagi bisa dicapai dengan menenggak Bintang. Tapi saya mah apa di bus cuman mengkonsumsi Vitamin Water dan roti cokelat. Saat “Balerina” dimulai, saya baru duduk di kursi dan bus masih sangat longgar. Tapi sebelum masuk pintu tol tiba-tiba saja itu bus jadi banyak sekali penumpang. Dan masih dengan lagu ini sebagai musik pengiring. Bagaimanakah rasanya? Jangan tanya. Roti cokelat ini enak sekali apalagi saya belum sarapan. Tapi perenungan tingkat tinggi dari “Balerina” adalah saat bus mulai masuk tol dan lagu sampai pada bagian: biar tubuhmu berkelana/lalui kegelisahan/mencari keseimbangan/mengisi ketiadaan/di kepala dan di dada. Dan akhirnya saya berpikir bahwasanya cukup tolol bila terus-terusan meratapi hal-hal yang sudah terjadi. Seperti kenapa saya beli roti cokelat cuman satu padahal perut masih lapar dan kenapa saya beli Vitamin Water bukannya susu Ultramilk.

6. Naif – “Piknik 72” “Johan & Enny” “Janji Setia” “Rumah yang Yahud” (Medley)
Tempat merenung: kamar kos terbaik sejagad
Waktu: pas mari mangan rame-rame terus ngeseng
Hasil: ayo ngopi ayo dolen ayo party ayo lapo ae

Band paling naif di dunia
Lagu ini direkam di GoetheHaus Jakarta dan masuk dalam album Naif Live At Schouwburg. Klasik. Inilah Naif. Apa adanya, kadang cukup fals, kadang seringkali lupa part: beberapa bagian di album ini memang sengaja dibiarkan ‘bersalah’. Live-nya terasa. Seperti pada medley pembuka “Piknik 72” “Johan & Enny” “Janji Setia” “Rumah yang Yahud”—yang menurut hemat saya keempat lagu ini adalah lagu paling romantis dari Naif dengan Piknik di urutan pertama. Waktu itu saya habis makan dan perut ini sakit sekali. Setelah tuntas di WC jongkok, kembali ke kamar, meraih speaker dan menyetel album ini membuat saya mengerti bahwa bagian tubuh yang panas seusai buang air adalah hal yang cukup romantis. Ini ibarat mengikhlaskan ‘masa lalu’ dan walaupun masih merasakan ‘panas’ kita tetap enjoy berjalan melanjutkan hidup. Lega cuy. Karena setelah itu segalanya jadi go ahead. Apapun yang ada apapun yang nampak fun segera saya lakukan. Naik Vespa kliling kota/Sampai binaria: Dan saya cukup yakin lagu ini masih akan jadi lagu paling romantis sepanjang Indonesia masih berdiri dan belum menemukan penemuan revolusioner pengganti WC jongkok.

Demikianlah. Semoga kita selalu diberi pencerahan dalam setiap apapun perenungan kita. Bahkan saat jongkok di kakus umum ataupun selokan.