rundown perdana di hari jumat: tepar! |
I.
Jumat Keparat
Jumat pagi dengan suhu
kurang dari 30 derajat celcius. Bisa apa selain meringkuk di kasur
sembari—mungkin—mengigau tentang KKN dimana hari ini adalah keberangkatannya.
Untung saja keberangkatan yang hanya kurang sejam lagi ini tidak menjadi mimpi
buruk—secara harfiah. Jadi nikmati sedikit waktumu di kos sebelum berpisah
selama dua minggu ke depan. Saya akan makin erat memeluk guling jika saja
seorang bernama Nila tidak menelepon di pagi dimana sang surya saja enggan
untuk menampakkan diri.
“Tito,
Halo? Bisa ikut upacala nggak hari ini? Sekalang, kutunggu di rumah ya!”
Sial. puluhan kali
mengucek mata tetap tidak bisa menguasai keadaan. Air putih, mana air putih.
Mungkin butuh seteguk baru bisa konsentrasi. Karena setelah itu saya sadar
bahwasanya saya menghadapi Nila dalam kondisi setengah sadar: mungkin hanya kata 'upacala' dan ‘sekalang’ yang bisa membuat saya sedikit ngeh bahwa yang mengontak benar-benar
si cadel ini.
“Hey!
Halo! Tito! Kamu sadal nggak sih ini?”
Anjing. Ternyata sudah pukul
enam kurang. Dan matahari masih belum membias di jendela. Tumben. Mungkin hari
mendung. Sebenarnya saya sudah sempat sadar antara beberapa menit yang lalu:
saat bocah-bocah kos berpamitan untuk upacara pembukaan KKN. Pagi benar mereka
berangkat, pikir saya. Sedangkan saya, pemalas yang tak kebagian ikut upacara,
santai-santai saja: mungkin berangkat agak siangan. Lagipula semalam grup
BBM—yang khusus berisi kawan-kawan KKN—sudah ramai: kami belum mendapat topi
(sebagai atribut wajib upacara), dan itu berarti kami tidak wajib upacara.
Disepakati, disetujui oleh ketua dan beberapa kawan bahwa besok kelompok kami
tidak menghadiri upacara, dan akan berangkat bersama-sama menuju tempat KKN
sehabis upacara, yang itu berarti tidak perlu pagi-pagi benar.
Tapi telfon dari Nila
dan nada pemberitahuan BBM yang deras membuat saya semakin sadar bahwa handuk
sudah tak perlu lagi diraih dari jemuran. Bahkan mandi sudah tidak penting.
Setelah beberapa tegukan Aqua, saya sadar-sesadar-sadarnya untuk segera
menjemput Hengki: dia wakil ketua, orang penting di dalam kelompok, dan mungkin
tidak bisa bangun pagi hari ini. Tugas saya membangunkannya secara mendadak.
Ya, mendadak. Grup membuat keputusan tiba-tiba setelah mendapat info yang entah
darimana rimbanya: boleh tidak memakai topi saat upacara. Semua tergopoh. Semua
berjingkat. Yang ditugaskan ikut upacara pun menjadi fleksibel: siapa yang bisa
berangkat boleh ikut. Termasuk pemalas seperti saya yang jika saja tidak
ditelfon oleh Nila, masih meringkuk di bawah selimut kedamaian kasur.
Hengki saya jemput
setelah saya PING!!! Tiga kali berturut-turut. Dan ditengah carut-marut, saya
yang juga belum packing dan mandi menunggu Hengki di depan kosnya dengan
perasaan amburadul. Grup semakin gaduh. Upacara sekitar sejam lagi. Hengki
sialan entah berada dimana—apa buang air memakan waktu begitu lamanya. Hingga
ia muncul di depan pagar kosnya. Tanpa tas. Tanpa sesuatu yang secara harfiah
bisa digunakan untuk membawa barang saat bepergian. Tanpa rasa malu. Tanpa
ekspresi. Hengki membawa kresek loundry, dan disitulah semua barangnya berada.
“Temenan ta arek iki KKN mek sangu kresek?” batin saya dalam hati.
Tapi saya sudah tidak
mampu melanjutkan kata-kata lagi. Mungkin Hengki sudah menitipkan barang-barangnya
di rumah Nila (yang ternyata tidak dan Hengki benar-benar KKN hanya bermodal
kresek bekas loundry, he’s really live a
thug life). Hengki segera saya ajak menuju kos saya. Gantian. Dia yang
menunggu saya packing dan cuci muka sebentar. Jumat sesejuk ini sungguh tega membiarkan
saya berangkat KKN tanpa mandi dan buang air—tidak seperti kebiasaan umum bahwa
saat berangkat orang mestinya kudu ganteng, harum dan memiliki sex appeal
tinggi.
Dan akhirnya tanpa
banyak doa dan nuansa duka akan menghadapi dua minggu di desa orang, saya
berangkat. Jalanan menjadi agenda kami selanjutnya. Hengki memegang alih kemudi
motor saya yang dalam sekali sentak, sudah berada di titik krusial dimana motor
seharusnya dipacu lebih dari 60 km/jam. Saya pikir Hengki tahu kita akan
berkumpul dimana.
Ternyata tidak.
“Lho,
nangndi Heng! Bukane kumpul di rumah Nila sik, terus berangkat bareng-bareng?” Ujar saya saat Hengki
mulai melewati tempat dimana seharusnya meeting point kelompok berada.
“Lho
aku langsung cus Mojokerto iki! Kumpul omahe Nila sik ta?” Hengki bertanya seperti kesetrum.
“Yo
iyolah mbut!” saya
mengumpat lagi sambil mengiyakan.
Sambil menahan dongkol, Hengki
berputar-balik. Kami sampai di rumah Nila sebelum berjalan terlalu jauh. Disana
sudah ada Anugrah, si ketua, dan tentu saja Nila, si empunya rumah.
“Ngenteni
sopo?” tanya saya. Itu
karena waktu menunjukkan titik dimana keputusan untuk segera berangkat sudah
saatnya dilakukan.
“Sik
diluk, To! Nunggu Aminul sama yang lain. Fitra juga.” Ujar Anugrah. Matanya terlihat
mengantuk—oh apa karena dia sipit? Dan beberapa saat kemudian si bajingan Fitra
memamerkan gambar mobil di grup; entah mobil siapa dan kami tentu saja tidak
peduli. apa-apaan?
“Woy,
cuk!” terdengar sapaan
dari dalam rumah. Saya tidak melihat si penyapa, tapi dari kadar suaranya, itu
adalah suara-suara yang hanya dimiliki oleh biadab tak tahu sopan santun.
Sulit menduga bahwa ada
salah satu bromocorah di kelompok KKN saya. Eko Setyo Budi, mahasiswa teknik
mesin sandal jepit dengan tinggi badan amat proporsional, ternyata sudah disitu
terlebih dahulu. Entah sembunyi dimana dia sampai tiba-tiba bisa datang. Saya
memanggilnya Eko sebelum tahu bahwa ia tidak mau dipanggil Eko.
“Dia
nggak mau dipanggil Eko. Maunya Tyo!”
ujar Anugrah sambil tersenyum saat rapat di rumah Nila beberapa waktu silam.
Ada nada prihatin dari senyumnya. Saya tidak bisa berkomentar.
Oke baik, jadi keadaan
di rumah Nila dalam posisi aman terkendali. Tinggal menunggu beberapa orang
lagi dan kemudian berangkat ke Mojokerto—tempat KKN kelompok kami—dan langsung
ikut upacara. Tapi Jumat, lagi-lagi membuat gempar. Hujan, tiba-tiba turun
dengan derasnya.
“Coookkkkkkk
udan faakkkkkkk!” saya
mengumpat lagi.
Keparat. Sama sekali
tidak barokah dan bahkan beberapa teman berkomentar: ‘KKN yang tidak diridhoi’. Tapi saya lebih kepada kenapa harus
hujan di pagi sesakral ini: padahal hari sebelum-sebelumnya belum pernah turun
hujan di pagi hari. Cobaan hari pertama KKN berupa air bah turun dari langit:
siapa yang menyangka kehendak Mikail. Dengan hujan yang tidak
tanggung-tanggung, seperti tumpah ruah dari angkasa, kita tidak mungkin melawan
badai dengan hanya bermodalkan jas hujan. Sneakers saya bisa basah. Itu haram
hukumnya. Setidaknya dalam kitab tak resmi Conversehead abal-abal.
Tidak ada pilihan lain
selain menunggu. Saya mengikuti Eko, ehm maksud saya, Tyo, menuju lantai dua.
Jadi rumah Nila juga dihuni sepupu cowoknya yang berkamar di lantai dua. Kebetulan
sepupunya adalah teman sekelas Tyo (dan untung saja tidak sama belelnya). Ada
televisi dan kasur: pilihan yang sulit, tapi saya memilih rebahan saja. TV
kemudian disetel oleh si empunya ruangan: berita bola yang sama sekali tidak
terdengar karena hujan turun begitu jancuknya.
Tiba-tiba Wisnu, kawan
KKN yang sudah ada di Mojokerto lebih dulu, mengontak saya.
“Piye,
Bro! Wis budal durung?”
tanyanya.
“Hujan
badai, Pakdhe! Dueres!”
jawab saya.
“Lho,
mosok? Ndek Mojokerto terang-benderang bos!” timpal Wisnu seperti melupakan teritori, letak awan,
curah hujan, takdir, dan penugasan Malaikat Mikail.
Sementara itu, beberapa
kawan yang mau berangkat juga akhirnya batal.
“Arep
berangkat bos entas, eh udan, deres. Nunggu redaan syek!” Aminul, ceking afro ini juga menguhubungi
saya.
Saya hanya bisa membalas
kira-kira dengan kata yang berkonotasi sama: santai, tenang, woles, selaw, calm, and whatever that have the same fucking
meaning. Tapi apa yang saya balaskan itu sepertinya tidak berlaku karena tiba-tiba
Anugrah berteriak dari depan pintu.
“Sepatunya
siapa rek di depan! Basah!”
Anjing! Anjing! Anjing!
Dan cobaan kedua dari
Jumuah keparat ini terjadi sudah: sepatu saya basah sebasah-basahnya.
Yakin ingin melanjutkan
KKN?
(bersambung)
rundown kedua hari jumat: tepar! |
*judul dicomot serampangan dari judul film mbak Adinia Wirasti, 3 Hari Untuk Selamanya.