Tidak ada negara yang
memiliki ragam kuliner sekaya kita. Keragaman itu memiliki akar sejarah
panjang. Politik dan keadaan ekonomi suatu daerah sangat menentukan variasi
makanan penduduk. (Majalah Tempo Edisi Khusus “Antropologi Bumbu Nusantara,
2014:31)
Makanan
sudah identik dengan kebudayaan. Resep turun-temurun dalam pengolahannya
membuat makanan mencerminkan siapa dan bagaimana masyarakat dan kebudayaannya.
Keanekaragaman makanan membuat insting kita tidak pernah berhenti; ada saja hal
menarik yang bisa digali. Salah satunya yang mungkin terdengar baru adalah
Gastrologi. Saya sendiri agak kebingungan mencari-cari apa definisinya. Di Wiki
malah dikatakan semacam ahli penyakit pencernaan atau apalah. Baru akhirnya salah
satu kawan kuliah yang bernama Mareta, mengkaji gastrologi dalam kajian
novelnya. Mareta berkata cukup simpel: gastrologi intinya membahas makanan
gitulah. Di situlah saya mulai tahu bahwa ada ya novel yang membahas tentang
makanan. Setahu saya hanya Tabula Rasa atau One Hundred Food Journey, film yang
diadaptasi dari novel, yang membahas tentang makanan. Karena di layar lebar,
saya pikir sisi menyenangkannya bisa lebih keluar karena penonton akan bisa
ngiler, menikmati makanan-makanan yang ditampilkan dalam film. Kalau film sih
tidak masalah, tetapi dalam bentuk novel—jujur saya tidak pernah tahu dan
menebak-nebak bisakah tulisan fiksi membuat imajinasi pembaca ngiler?
Mungkin
saja khazanah bacaan saya tentang penulisan makanan amat sangat kurang. Saya hanya
sempat membaca tulisan-tulisan Mas Nuran Wibisono di blognya, yang kebanyakan
membahas sop buntut, atau makanan-makanan yang bisa saya jumpai sehari-hari.
Itu bukan fiksi, ada fotonya dan saya bisa membayangkan bagaimana enaknya saat
kita menyendok makanan itu ke mulut. Ada narasi deskripsi, ada banyak kata-kata
yang merujuk pada indra perasa. Tapi sumpah saya masih bingung bila semua ini
diaplikasikan ke fiksi, terutama novel. Tidak ada gambar, tidak ada ilustrasi,
dan tentu saja, saya pikir penulis-penulis fiksi yang sering saya baca tidak
pernah mampu membuat air liur menetes saat mereka menuliskan tentang makanan.
Saya pernah membaca novel Dimsum Terakhir, karangan Clara Ng. Memang judulnya
sangat identik dengan makanan, tapi entah, sampai sekarang pun saya tidak tahu
rupa dan rasa dimsum itu seperti apa. Ini membuat saya berpikir bahwa makanan
dalam novel hanya ditampilkan sebagai pelengkap yang tidak penting-penting
amat.
Setidaknya
itu pandangan saya sebelum mengenal dan membaca novel perdana Yusi Avianto
Pareanom Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Saya sudah membaca Rumah Kopi
Singa Tertawa karangan Pamanda Yusi sejak lama. Kisah-kisahnya datar dan
ganjil, dengan banyak momen mengejutkan serta menyenangkan. Pikiran saya saat
awal membaca Mandasia, mungkin novel ini akan sama sablengnya. Ternyata isinya
jauh melebihi ekspekstasi. Kawan saya sempat berkata bahwa, “Raden Mandasia itu
magnum opus-nya Yusi!” Mungkin benar. Diulang-ulang sesering apapun, saya masih
bisa tertawa, atau kadang misuh-misuh sendiri. Dan saya paling menyukai untuk
membaca lagi part-part di mana ada adegan makan di situ. Yusi
menjungkirbalikkan pandangan saya. Membaca fiksi tentang makanan ternyata bisa
senikmat ini. Sudah sering saya tiba-tiba minta antar pacar membeli sate
kambing dan gule karena tidak tahan membayangkan apa yang ada dalam Mandasia.
Dari Mandasia jugalah saya kemudian sok menjadi pakar daging sapi, yang merasa
paling tahu beda sirloin dan tenderloin, dan menceramahi pacar saya yang doyan
makan bahwa bagian sapi paling enak adalah sandung lamur. Hmm. Tapi keparatnya,
Mandasia juga tidak hanya mengajari soal santap-menyantap sapi. Di bagian saat
mereka menuju rumah makan untuk menemui Loki Tua, saya benar-benar ngiler tidak
tertahan, benar-benar hampir kehilangan akal sehat. Babi asap dideskripsikan
begitu sempurna oleh Pamanda Yusi. Membuat saya yang belum pernah secuil pun
memakan babi jadi ingi sesekali mencobanya—lemaknya yang lengket, kupingnya
yang berbunyi krak saat dikunyah; saya berjanji kapan-kapan akan menjajal babi
panggang utuh dan setidaknya sehari saja melepaskan label haramnya.
Selain
umpatan-umpatan macam anjing, tapir bunting, simbahmu koprol dan lain
sebagainya yang cukup membuat terhibur, kutipan dalam Mandasia berikut dijamin
akan membuat kalian menghubungi Go-Food: ada warung tongseng terdekat?
Semua daging ini sangat
lunak karena otot-otot di sekitarnya jarang digerakkan sapi. Daging-daging yang
cukup ditaburi sedikit garam, bubuk merica biasa atau hitam—terserah selera,
tanpa perlu bawang putih atau bumbu lain; daging-daging yang cukup dibakar dua
sisi sebentar saja sampai setengah matang supaya keempukannya terjaga sehingga
lumer saat digigit; daging-daging yang bakal membuat penikmatnya merasai
kedamaian yang sampai tahap tertentu adikodrati antara ia dan penciptanya.
(Pareanom, 2016:21)
Bukan hanya empuk, daging
hangat setengah matang itu juga menyemburkan kaldu daging di dalam mulut saat
kugigit. Kalau ada rasa yang lebih enak daripada ini, dewa-dewa pasti masih
merahasiakannya. “Raden, daging ini rasanya...luhur,” kataku. (Pareanom,
2016:22)
Astaga. Kulit luar nasi
yang agak gosong ternyata renyah betul dan nasinya sendiri lebih padat daripada
dugaanku. Kejutan berikutnya, nasi kepal itu ternyata berisi suwiran ikan kakap
kering manis pedas. Maka-nan sederhana
yang kehangatannya sampai ke hati. (Pareanom, 2016:27)
Kari ikan datang berteman
nasi dari beras basmati yang butiran-butirannya panjang, tidak lengket satu
sama lain, dan aromanya harum. Nasi yang disajikan di atas daun pisang lebih
menggugah seleraku. Aku mengambil sesuap dengan jariku. Enak. Aku menyuap lagi,
berteman secuil ikan berbumbu kental. Anjing, tambah enak, ternyata. Aku
menuangkan kari ikan ke atas nasiku dan dengan cepat aku menghabiskan nasiku
dan minta tambah lagi. (Pareanom, 2016:231)
Aku menelan air liur.
Potongan-potongan daging dalam ukuran besar dibakar. Di tungku terpisah, empat
babi utuh dipanggang berdiri memutari perapian yang berbentuk lingkaran.
Seorang pekerja secara teratur melaburi babi-babi itu dengan cairan yang kuduga
mengandung gula karena babi-babi itu berwarna kuning coklat keemasan. Babi-babi
yang berlumur minyak itu dibelah tepat di tengahnya sehingga mereka mirip
gundukan daging yang melebar. (Pareanom, 2016:274)
Yang perempuan menyantap
sup berwarna hijau teratai muda yang sepertinya berisi simping. Setelah
menyendokkan sup ke mulutnya, si perempuan menunjukkan paras terkejut. Tubuhnya
bergetar halus. Gila. Itu gerakan bergetar yang kukenali ketika perempuan menunjukkan
paras terkejut. Tubuhnya bergetar halus. Gila. Itu gerakan bergetar yang
kukenali ketika perempuan mendapat kepuasan setelah bercinta. Mata perempuan
itu sedikit membasah. (Pareanom, 2016:274)
Seorang pelayan lain datang
ke meja di samping kanan kami mengantarkan satu ekor babi panggang utuh untuk
empat orang. Ada asap tipis naik dari babi panggang itu. Begitu babi diletakkan
di meja, keempat orang itu menyobek-nyobek dagingnya dengan tangan kosong.
Aduh, pasti lembut sekali dan langsung lumer di mulut. Satu orang mematahkan
kuping babi. Ada bunyi krak yang merdu sekali di telingaku, juga saat suatu
kuping itu dikremus di beruntung. Kawannya mengambil cingur babi dan mencomot
daging pipinya. Semuanya berminyak berkilat-kilat. Potongan daging itu lalu mereka
celupkan ke cairan kuning kental yang kemudian aku tahu terbuat dari campuran
kuning telur dan minyak sayur. (Pareanom, 2016:276)
Bubur. Oh, ternyata ada
irisan-irisan tipis dagingnya. Bubur terasa lembut dan hangat di perutku.
Irisan dagingnya enak sekali. Gurih pedas. Mereka pintar mengolah daging
kambing, pikirku. (Pareanom, 2016:314)
dimuat di litera obscura edisi #2
format digital bisa diunduh bebas disini