Friday, April 20, 2018

Menyetujui Rejeki

Manusia memang doyan sambat. Sedikit-sedikit menyalahkan keadaan, ngedumel dan ngomel sendiri. Walaupun tahu dan sadar kalau semua tidak akan bisa membalik keadaan. Manusia gudangnya ngomel, dan parahnya isi omelan dan sumpah serapahnya tidak habis-habis. Kemarin saat obrolan via chat dengan Mas Rona, saya seperti kembali diingatkan untuk tidak terus merengek-rengek akan nasib. Rona sebagai jurnalis musik paling berpengaruh di Surabaya (sejauh mata memandang), banyak memakai kata rejeki dalam chat. Inilah yang membuat saya tiba-tiba sadar kalau saya tidak pernah memakai kata ini. Rejeki atau rezeki dalam versi baku KBBI, memang kata yang ajaib. Tidak heran kalau para orang tua banyak menyelipkan kata rizki untuk nama anak mereka. Selama ini saya belum sadar kalau sudah diberi rejeki yang melimpah ruah. Tidak pernah kekurangan uang untuk ngopi, selalu bisa makan cukup, dan membeli tetek bengek remeh temeh yang sebenarnya juga saya tidak butuh-butuh amat. Selama ini saya menganggap kerja adalah kewajiban, just for money. Ini membuat saya berasa seperti robot uang yang bekerja dengan satu motivasi: duit. Tapi tentu saja hati ini rasanya tiap hari gundah gulana. Anjing, pekerjaan gini amat. Tapi terus dipacu demi duit, duit, duit. Dengan mengganti kata duit dengan rejeki, konotasi dan maknanya sepertinya berubah. Jadi bekerja memang tujuannya mencari rejeki. Kalian tahu rejeki menurut versi Ibunda saya itu seperti apa? Rejeki bukan hanya sekadar uang, tapi juga koneksi, pengalaman, dan ilmu yang tidak ternilai. Selama saya bekerja ini, tidak terhitung kenikmatan rejeki yang saya peroleh, dan itu benar-benar priceless. Perenungan saya malam ini akhirnya membawa saya pada berbagai pertanyaan, sebelum akhirnya bingung sendiri dan akhirnya memilih melanjutkan membaca Dilarang Gondrong terbitan Marjin Kiri yang aduhai ciamik itu. Ya, semoga saja tulisan dan perenungan ini ada guna manfaatnya yaa.

1 comment: